Lanjut ke konten

KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH PULAU BIAWAK KABUPATEN INDRAMAYU

November 23, 2011

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran

Program Studi Ilmu Kelautan

Laboratorium Konservasi Ilmu Kelautan

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Kawasan konservasi laut merupakan kawasan perairan yang dilindungi, dikelola melalui sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan. Upaya pengelolaannya yang dilakukan oleh pemerintah daerah dikenal dengan Kawasan Konservasi Laut Daerah. Penetapan kawasan konservasi laut daerah dilakukan melalui proses pendekatan partisipatif masyarakat dalam skala kecil atau skala desa untuk memberikan perlindungan khusus terhadap suatu kawasan yang secara ekologis bernilai tinggi, dengan menggunakan peraturan formal maupun peraturan adat. Kawasan konservasi skala kecil yang dimaksud adalah Daerah Perlindungan Laut yang ditetapkan bersama-sama pemerintah daerah dan masyarakat sekitar melalui pertimbangan yang utuh mengenai pengembangan lingkungan, dan sekaligus mempertimbangkan aspek sosial ekonominya, sehingga dapat menghindari konflik dengan masyarakat tradisional disekitarnya.

Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah memberikan keleluasaan bagi pemerintah daerah dalam mengelola kawasan konservasi di wilayahnya. Hal tersebut diperkuat dengan UU 31/2004 tentang Perikanan, UU 27/2007 tentang Pengelolan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dan PP 60/2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan yang sedikitnya memuat 2 (dua) hal penting yang menjadi paradigma baru dalam pengelolaan konservasi. Pertama penetapan sistem zonasi dalam kawasan konservasi yang meliputi, Zona Inti, Zona Perikanan Berkelanjutan, dan Zona Pemanfaatan & zona lainnya. Kedua, mengalihkan kewenangan pengelolaan kawasan konservasi yang sebelumnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat (sentralisasi) melalui Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) menjadi kewenangan pemerintah daerah yang juga diatur dalam 27/2007 dan PerMen KP No. 02/2009.

Penetapan zonasi dalam kawasan konservasi dan sistem pengelolaan desentralisasi merupakan benang merah antara hubungan sinergis Kawasan Konservasi Laut Daerah dan Kesejahteraan Masyarakat. Dengan begitu, penetapan kawasan konservasi yang menjadi kekhawatiran akan mengurangi akses nelayan itu menjadi tidak ada. Justru hak-hak tradisional masyarakat sangat diakui dalam pengelolaan kawasan konservasi. Masyarakat diberikan ruang pemanfaatan untuk perikanan di dalam kawasan konservasi yaitu, dalam zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan maupun zona lainnya. Kondisi ini justru belum pernah dilakukan dalam konteks pemahaman konservasi terdahulu (Sentralisasi). Sementara kawasan Daerah Perlindungan Laut yang menjadi cikal bakal zona inti dalam kawasan konservasi sebagai “lumbung ikan” menjadi tertutup dalam pemanfaatannya (diluar kegiatan penelitian) untuk mempertahankan stok ikan yang ada di alam akan tetap melimpah.

Potensi perairan laut di Indonesia yang sangat menjanjikan perlu didukung dengan upaya pengelolaan kawasan tersebut secara bijak. Dengan penetapan kawasan konservasi laut daerah diharapkan sumber pendapatan masyarakat tidak hanya berasal dari ketersediaan sumberdaya ikan di kawasan tersebut untuk dimanfaatkan, melainkan sumber ekonomi lainnya yang berasal dari pengembangan kawasan wisata bahari. Hal tersebut dapat mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir.

Potensi ikan ekonomis penting yang tersimpan dalam keindahan laut Indonesia membutuhkan pengelolaan yang bijak melalui penetapan kawasan konservasi laut daerah. Dampak penetapan KKLD di kawasan ini mampu memberikan keuntungan ekonomis bagi pengelolanya. Keuntungan tersebut berupa ketersediaan sumber daya ikan yang terus menerus karena upaya perlindungan secara tegas terhadap daerah pemijahan ikan. Selain itu, penetapan KKLD sebagai daerah wisata bahari dapat memberikan keuntungan yang nyata sebagaimana terjadi di kawasan konservasi Laut lainnya yang juga menjadi daerah wisata bahari seperti TNL Bunaken, dan lainnya. KKLD tersebut nantinya dapat dimanfaatkan oleh turis maupun penduduk lokal sebagai tempat menyelam, berenang, berlayar, dan snorkeling. Disamping hasil tangkapan nelayan yang juga meningkat, kegiatan pariwisata meningkat karena kondisi alam yang indah dalan kelimpahan ikan-ikan karang yang dapat disaksikan dengan mudah dan fasilitas pendukung pariwisata yang diperlukan seiring dengan datangnya berbagai wisatawan. Lebih penting lagi, masyarakat bisa mendapatkan hak penangkapan ikan yang eksklusif. Kesemuanya itu akan mengarah kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat apabila pengelolaan KKLD nya tepat.

Dengan pengaturan kawasan konservasi laut daerah yang bersifat desentralisasi ini memberikan angin segar terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir. Pembagian peran yang proporsional diperkuat oleh peraturan perundang-undangan yang ada antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat lokal menjadi hal terpenting dalam upaya mewujudkan Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah untuk Kesejahteraan Masyarakat yang berkelanjutan.

1.2.Tujuan

Tujuan dari rencana Pengelolaan KKLD adalah untuk konservasi habitat dan proses-proses ekologi, dan perlindungan nilai sumberdaya sehingga kegiatan perikanan, pariwisata dan penelitian, pendidikan dapat dilaksanakan secara berkelanjutan.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konservasi

Konservasi berasal dari kata Conservation yang terdiri atas kata con (together) dan servare (keep/save) yang memiliki pengertian mengenai upaya memelihara apa yang kita punya (keep/save what you have), namun secara bijaksana (wise use). Ide ini dikemukakan oleh Theodore Roosevelt (1902) yang merupakan orang Amerika pertama yang mengemukakan tentang konsep konservasi. Konservasi dalam pengertian sekarang, sering diterjemahkan sebagai the wise use of nature resource (pemanfaatan sumberdaya alam secara bijaksana).

Konservasi juga dapat dipandang dari segi ekonomi dan ekologi dimana konservasi dari segi ekonomi berarti mencoba mengalokasikan sumberdaya alam untuk sekarang, sedangkan dari segi ekologi, konservasi merupakan alokasi sumberdaya alam untuk sekarang dan masa yang akan datang.

Apabila merujuk pada pengertiannya, konservasi didefinisikan dalam beberapa batasan, sebagai berikut :

  1. Konservasi adalah menggunakan sumberdaya alam untuk memenuhi keperluan manusia dalam jumlah yang besar dalam waktu yang lama (American Dictionary).
  2. Konservasi adalah alokasi sumberdaya alam antar waktu (generasi) yang optimal secara sosial (Randall, 1982).
  3. Konservasi merupakan manajemen udara, air, tanah, mineral ke organisme hidup termasuk manusia sehingga dapat dicapai kualitas kehidupan manusia yang meningkat termasuk dalam kegiatan manajemen adalah survai, penelitian, administrasi, preservasi, pendidikan, pemanfaatan dan latihan (IUCN, 1968).
  4. Konservasi adalah manajemen penggunaan biosfer oleh manusia sehingga dapat memberikan atau memenuhi keuntungan yang besar dan dapat diperbaharui untuk generasi-generasi yang akan datang (WCS, 1980).

Kawasan konservasi laut penting bagi perlindungan keanekaragaman hayati laut dan pemeliharaan produktifitas perairan terutama sumberdaya perikanan. Saat ini jumlah kawasan konservasi laut terlalu sedikit dibanding dengan luas laut yang belum dikelola secara baik. Sampai sekarang baru 1% dari laut keseluruhan yang termasuk dalam kawasan konservasi dibanding dengan kawasan darat yang sudah mencapai 9%. Panduan ini mengemukakan langkah yang seyogyanya diambil untuk membentuk jaringan kawasan konservasi laut yang efektif.

Ada dua cara dalam pembentukan kawasan konservasi laut yaitu :

  • Membangun kawasan konservasi laut yang kecil-kecil dalam jumlah yang banyak dan dilin-dungi secara ketat; atau membentuk kawasan penggunaan ganda yang luas dan mengandung daerah konservasi di dalamnya yang dilindung secara ketat.
  • Pendekatan tersebut secara prinsip tidak perlu diperdebatkan. Keduanya harus berada dalam kerangka pengelolaan ekosistem terpadu, mencakup ekosistem laut dan darat yang mempengaruhinya.

2.2 Pengelolaan Konservasi Laut Daerah

Definisi kawasan konservasi laut menurut IUCN (1988) dalam Supriharyono (2007) adalah suatu kawasan laut atau paparan subtidal, termasuk perairan yang menutupinya, flora, fauna, sisi sejarah dan budaya, yang terkait di dalamnya, dan telah dilindungi oleh hukum dan peraturan lainnya untuk melindungi sebagian atau seluruhnya lingkungan tersebut. Menurut Begen (2002) bahwa salah satu upaya perlindungan ekosistem pesisir dan laut adalah dengan menetapkan suatu kawasan di pesisir dan laut sebagai kawasan konservasi yang antara lain bertujuan untuk melindungi habitat-habitat kritis, mempertahankan dan meningkatkan kualitas sumberdaya, melindungi keanekaragaman hayati dan melindungi proses-prosesekologi.

Kawasan Konservasi Laut adalah perairan pasang surut termasuk kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, termasuk tumbuhan dan hewan didalamnya, serta termasuk bukti peninggalan sejarah dan sosial budaya dibawahnya, yang dilindungi secara hukum atau cara lain yang efektif, baik dengan melindungi seluruh atau sebagian wilayah tersebut (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2006). Menurut Salm et al, (2000) dalam Bengen (2002) bahwa hasil dari sebuah perencanaan lokasi kawasan konservasi adalah rencana pengelolaan lokasi kawasan konservasi. Sebagai tahapan awal dari perencanaan lokasi, diperlukan suatu rencana pendahuluan dari pemilihan lokasi yang berisi kebijakan yang diperlukan untuk implementasikan, sasaran program dan kerangka strategi dasar untuk mencapai sasaran utama.

Menurut IUCN (1994) dalam Supriharyono (2007) ada beberapa tujuan kawasan konservasi atau konservasi laut diantara, yaitu :

  1.  Untuk melindungi  mengelola sistem laut dan estuaria supaya dapat dimanfaatkan secara terus menerus dalam jangka panjang dan mempertahankan keanekaragaman genetik
  2. Untuk melindungi penurunan, tekanan, populasi dan spesies langka, terutama pengawetan habitat untuk kelangsungan hidup mereka
  3. Untuk mencegah aktivitas luar yang memungkinkan kerusakan kawasan konservasi laut
  4. Untuk memberikan kesejateraan yang terus menerus kepada masyarakat dengan menciptakan konservasi laut.
  5. Menyediakan pengelolaan yang sesuai, yang mempunyai spektrum luas bagi aktivitas manusia dengan tujuan utamanya adalah penataan laut dan estuaria.

Otonomi daerah telah diberlakukan melalui Undang-undang No.32 tahun 2004, kabupaten/kota diberikan kewenangan oleh pemerintah pusat untuk mengatur dan mengkoordinasikan penggunaan sumberdaya pesisir dan laut dalam batas 1/3 dari batas kewenangan provinsi. Daerah yang mempunyai wilayah laut, diberikan kewenangan untuk melakukan konservasi dan mengatur sumberdaya alam di tingkat daerah tercantum dalam pasal 18:1 Undang-undang No.32 tahun 2004. Kewenangan tersebut meliputi:

  1. eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut (18:3a),
  2. pengaturan administrasi (18:3b),
  3. pengaturan tata ruang (18:3c),
  4. dan penegakan hukum (18:3d).

Selain itu, upaya-upaya konservasi sumberdaya ikan untuk pengelolaan perikanan haruslah mempertimbangkan hukum adat dan kearifan lokal serta memperhatikan peran serta masyarakat (pasal 6 UU 31/2004). Kawasan konservasi perairan merupakan bagian dari pengelolaan atau konservasi ekosistem, berdasarkan tipe ekosistem yang dimiliki, kawasan konservasi perairan dapat meliputi:

  1. kawasan konservasi perairan tawar,
  2. perairan payau, atau perairan laut.

Kawasan konservasi di wilayah perairan laut tersebut dikenal sebagai Kawasan Konservasi Laut (KKL). Dalam pengembangannya, kawasan konservasi perairan di wilayah laut yang dikembangkan oleh pemerintah daerah sering disebut sebagai Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD).

Pada akhir abad lalu, diakui adanya 3 (tiga) pendekatan prinsip untuk pengembangan Kawasan Konservasi Laut (KKL). Ketiga pendekatan tersebut berkaitan langsung dengan pengelolaan sumberdaya ikan (UNCLOS pasal 61-68). UNCLOS telah diratifikasi dengan UU 17/1985, yang menekankan perlunya pengelolaan perikanan, karena sumberdaya ikan tidak tanpa batas kelestarian.

Pendekatan pertama merupakan pendekatan yang paling tua terdiri dari pengaturan dan pengelolaan kegiatan individual di sektor kelautan, seperti perikanan tangkap komersial, yang dilaksanakan oleh satu lembaga pemerintah. Pendekatan kedua dilakukan melalui pembentukan kawasan konservasi laut dalam skala kecil atau skala desa untuk memberikan perlindungan khusus kepada kawasan yang secara ekologis bernilai tinggi, dengan melakukan peraturan formal atau peraturan adat. Pendekatan ini merupakan praktek yang umum dilaksanakan pada kawasan konservasi laut skala kecil, yang disebut daerah perlindungan laut. Pendekatan ketiga merupakan pendekatan paling terbaru yaitu pembentukan kawasan konservasi laut yang serba guna, dengan menggunakan prinsip pengelolaan secara terpadu sampai pada koordinasi antara wilayah laut dan wilayah pesisir.

Beberapa langkah yang perlu di perhatikan dalam pembentukan dan pengembangan kawasan konservasi laut dalam buku tersebut adalah :

  1. Meletakan Kawasan konservasi laut dalam konteks pengelolaan yang lebih luas.
    Tingkat keterkaitan antara daratan dengan laut sekitarnya dan keterkaitan antara laut dengan laut lainnya menyebabkan perlunya kawasan konservasi laut untuk diintegrasikan dalam daerah (region) pengelolaan yang berhubungan dengan aktivitas masya-rakat yang mempengaruhi kehidupan biota laut. Oleh karena itu kawasan konservasi laut harus dipadukan dengan kebijakan-kebijakan lain dalam penggunaan lahan dan penggunaan laut itu sendiri. Disarankan juga pentingnya negara-negara memanfaatkan kesepakatan internasional, terutama yang tercantum dalam Hukum Laut Internasional (UNCLOS) maupun Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD). Dukungan internasional yang lebih besar masih dibutuhkan oleh Kawasan konservasi laut dan usaha yang keras harus dilakukan untuk membangun kawasan konservasi laut di laut lepas.
  2. Mengembangkan kerangka hukum.
    Landasan hukum merupakan langkah kunci dalam pembentukan kawasan konservasi laut karena memberikan legalitas bagi lembaga atau masyarakat dalam pengembangan kawasan konservasi laut yang luas dengan pemanfaatan ganda (multi use area) termasuk persyaratan dalam peraturan perundangan, meskipun kebutuhan dan konteks persyaratan tersebut berbeda di masing-masing negara.
  3. Bekerjasama dengan sektor yang relevan.
    Aktivitas masyarakat dari berbagai sektor mempengaruhi wilayah pesisir dan laut. Oleh karenanya menjalin kerjasama dengan melibatkan semua pihak terkait merupakan langkah awal yang penting. Pariwisata merupakan sektor yang paling banyak menerima manfaat sehingga dapat menciptakan kegiatan ekonomi paling besar. Kerjasama dengan pihak perikanan harus dilakukan secara hati-hati karena seringkali mereka merasa kepentingannya dirugikan. Sektor lain yang relevan adalah pekerjaan umum, pertanian, kehutanan, industri, pertahanan dan ilmu pengetahuan.
  4. Menjalin mitra dengan masyarakat dan stakeholders lain. Pengelola kawasan harus memahami masyarakat lokal yang menerima dampak keberadaan kawasan konservasi laut dengan mengindentifikasi mitra potensial lainnya. Pengelola harus mendengar dan memahami berbagai kelompok kepentingan dan mencari jalan untuk melibatkan mereka dalam pengelolaan sumberdaya. Disarankan membangun kemitraan pengelolaan menggunakan model pengelolaan kolaboratif.
  5. Pemilihan lokasi untuk kawasan konservasi laut.
    Pemilihan lokasi dan penentuan luas kawasan konservasi laut memerlukan penekanan yang berbeda dengan penentuan kawasan konservasi darat. Di berbagai tempat, banyak masyarakat lokal tergantung kepada jasa dan sumber daya yang diberikan oleh komunitas alami di darat. Tetapi ketergantungan masyarakat terhadap wilayah laut bahkan dapat lebih besar. Beberapa bentuk aktivitas perikanan dapat terjadi di wilayah yang luas tanpa mengancam tujuan konservasi, karena tidak memodifikasi habitat. Hal ini memungkinkan menyeimbangkan antara konservasi dan kebutuhan masyarakat local. Perlu perhatian seksama terhadap kegiatan diluar Kawasan konservasi laut yang dapat berpengaruh buruk misalnya pencemaran. Berlandaskan prinsip-prinsip di atas, panduan tersebut megemukakan satu set criteria untuk pemilihan lokasi Kawasan konservasi laut yang telah banyak digunakan di berbagai banyak negara dalam beberapa tahun terakhir ini. Kriteria tersebut disusun berdasarkan berbagai aspek seperti: biogeografi, ekologi, keaslian, manfaat ekonomi dan social, manfaat ilmiah, dan aspek kepraktisan atau kelayakan.
  6. Merencanakan dan mengelola Kawasan konservasi laut. Pengelolaan harus responsive dan adaptif, mampu bekrja sama dengan fihak-fihak kepentingan local sedemikian rupa sehingga memperoleh dukungan guna mencapai tujuan konservasi. Untuk mencapai hal tersebut, pengelola seyogyanya mengadopsi suatu pendekatan system, memanfaatkan tim antar disiplin dan menganut tahapan pemgambilan keputusan yang jelas. Pengelolaan Kawasan konservasi laut sebagian besar adalah me-nge-lola aktivitas manusia oleh karena itu hal tersebut harus merupakan “jantung” dari pendekatan yang dianut.ÿ
  7. Zonasi.
    Pembagian wilayah menjadi berbagai zona yang dialokasikan untuk berbagai penggunaan. Zonasi ini akan memberikan kepastian mengenai perlindungan terhadap zona inti (core zone) sebagai bagian dan wilayah penggunaan ganda yang lebih luas. Tahap-tahap yang diperlukan untuk membentuk zonasi disusun pada Annex 3 dan buku panduan termaksud.
  8. Perencanaan untuk keberlanjutan pendanaan.
    Keterbatasan dana hampir selalu merupakan masalah yang kritis bagi pengelola Kawasan konservasi laut. Oleh karena itu pengelola membutuhkan keleluasan untuk menghimpun dana dengan berbagai cara yang dimungkinkan, seperti menarik biaya dan pengguna (user fee), donasi dan dana-dana lingkungan hidup (environmental funds), serta memegang dana tersebut untuk pengelolaan Kawasan konservasi laut. Donor-donor dan luar disarankan memperpanjang periode bantuannya untuk proyekproyek Kawasan konservasi laut guna membantu pencapaian keberlanjutan pendanaan.
  9. Riset, pemantauan dan evaluasi.
    Riset dan pemantauan harus berorientasi secara jelas untuk memecahkan masalah-maslah pengelolaan. Buku Panduan memuat petunjuk mengenai perencanaan program penelitian dan pemantauan pada fase-fase perencanaan dan implementasi KKL. Dan semuanya yang terpenting adalah memanfaatkan hash riset dan pemantauan untuk mengevaluasi pengelolaan dan bila penlu mengadakan perubahan-perubahan untuk perbaikanya.

2.3 Peraturan Pusat tentang pengelolaan konservasi laut daerah

Kajian Hukum dan Kebijakan Pengelolaan Kawasan Konservasi, Secara umum kebijakan dan hukum yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam tidak dapat dipisahkan dengan pengelolaan kawasan konservasi. Oleh karena kawasan konservasi merupakan bagian dari sumber daya alam, maka kebijakan dan hukum konservasi pun pada dasarnya merupakan bagian dari kebijakan dan hukum pengelolaan sumber daya alam.

Sebagaimana diketahui bahwa sebenarnya peraturan perundang-undangan merupakan bagian dari kebijakan pemerintah. Namun dalam hal ini kebijakan diartikan dalam arti sempit, yaitu kebijakan yang masih harus dijabarkan terlebih dahulu di dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Kebijakan yang dimaksud disini diantaranya adalah UUD 1945, Ketetapan MPR dan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) , ataupun pernyataan pejabat negara.

Undang-undang Dasar 1945 lebih menekankan pada pemanfaatan bagi kesejahteraan masyarakat. Perhatian terhadap upaya “perlindungan” belum dikandung baik secara eksplisit maupun implisit. UUD 1945 menyebutkan bahwa Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Sementara itu melalui Tap MPR kemudian ditetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang berisikan konsepsi dan arah pembangunan, GBHN kemudian dijabarkan oleh Pemerintah dalam bentuk Rencana Pembangunan Lima Tahun atau REPELITA.

Ketetapan-ketetapan MPR tentang GBHN selama beberapa periode telah memberikan arah yang cukup jelas bagi pengelolaan lingkungan hidup, termasuk pengembangan kebijakan konservasi. Apa yang terdapat di dalam GBHN terakhir (1988-2003) misalnya, menekankan bahwa pembangunan lingkungan hidup diarahkan agar lingkungan hidup dapat tetap berfungsi sebagai pendukung dan penyangga ekosistem kehidupan dan terwujudnya keseimbangan, keselarasan, dan keserasian yang dinamis antara system ekologi, sosial, ekonomi dan sosial budaya agar dapat menjamin pembangunan nasional yang berkelanjutan. Dalam bagian lain juga disebutkan bahwa pembangunan yang berkelanjutan yang berwawasan lingkungan (sustainable ecologically Development) ditujukan bagi penataan ruang, tata guna lahan, tata guna sumber daya air, laut dan pesisir serta sumber daya alam lainnya yang didukung oleh aspek sosial budaya lainnya sebagai satu kesatuan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang harmonis dan dinamis.GBHN tersebut juga memberikan perhatian terhadap peran serta masyarakat.

Namun tidak disinggung kemungkinan dikembangkannya desentralisasi dalam pengelolaan kawasan konservasi. Kendatipun GBHN 1988-2003 tidak memiliki legitimasi hukum menyusul dibubarkannya Pemerintahan Suharto pada Bulan Mei 1998, yang dengan sendirinya GBHN tersebut juga tidak lagi berlaku, namun dari konsepsi yang dimiliki tampak bahwa perhatian terhadap lingkungan hidup sebagai pendukung dan penyangga eksositem kehidupan cukup besar. Secara nilai, upaya untuk mengembangkan pembangunan nasional yang berwawasan lingkungan dan memperhatikan keserasian telah dikembangkan di dalam GBHN 1998-2003.

Namun kajian terhadap berbagai peraturan perundang-undangan serta kebijakan pembangunan pemerintah selama ini menunjukkan bahwa konsepsi bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk kemakmuran rakyat, belum mampu mensejahterakan masyarakat. Justru yang paling menonjol adalah penerjemahan Hak Menguasai Negara (HMN) dimana sumber daya alam yang ada seakan dimiliki secara mutlak oleh Negara. Tanah-tanah dengan status tanah adat yang banyak dikenal di Indonesia sejak zaman Kolonial Belanda seakan menjadi hapus apabila Negara menghendaki. Hal ini dapat dilihat di dalam UU Pokok Agraria (1960), UU Pokok Kehutanan, UU Pokok Pertambangan yang menyatakan bahwa Tanah adat dapat diakui sepanjang masih ada dan tidak bertentangan dengan kepentingan Nasional, namun pengakuan tersebut hampir tidak pernah terjadi.

Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan bahkan dengan tegas mengatakan bahwa Hak-hak Masyarakat Hukum Adat dan anggota-anggotanya untuk memungut hasil hutan yang didasarkan atas suatu peraturan hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada, pelaksanaannya perlu ditertibkan sehingga tidak mengganggu pelaksanaan penguasaan hutan. Sementara itu, di dalam areal hutan yang sedang dikerjakan dalam rangka pengusahaan hutan, pelaksanaan hak rakyat untuk memungut hasil hutan dibekukan. Disinilah sebenarnya akar dari berbagai ancaman dan konflik di dalam pengelolaan sumber daya alam termasuk pengelolaan kawasan konservasi. Masyarakat Adat dihilangkan akses dan kemampuannya untuk menentukan pengelolaan sumber daya alam yang terdapat di sekitar mereka. Secara lebih nyata dalam kaitannya dengan pengelolaan kawasan konservasi, HMN diterjemahkan sebagai hak negara untuk mengambil tanah adat atau tanah milik masyarakat yang kemudian ditetapkan sebagai kawasan lindung. Hal ini misalnya terjadi di beberapa kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan konservasi seperti di Haruku, Maluku, dan di Taman Nasional Bukit Tiga Puluh, Riau. Bahkan di Haruku yang telah ditetapkan Pemerintah sebagai hutan lindung tapi muncul aktivitas pertambangan. Sampai saat ini masih menjadi konflik antara masyarakat di satu sisi dengan Pemerintah dan perusahaan di sisi lain.

Sidang Istimewa MPR (SI MPR) yang berlangsung pada bulan Nopember 1998 menghasilkan beberapa Ketetapan, yang diantaranya adalah tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah: Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan, serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia3. Di dalam Tap MPR No. XV/1998 tersebut disebutkan bahwa Penyelenggaraan Otonomi Daerah dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab di daerah secara proporsional diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, dimana penyelenggaraan tersebut dilaksanakan dengan prinsip demokrasi dan memperhatikan keanekaragaman daerah.

Di dalam pasal 5, ditekankan bahwa Pemerintah Daerah berwenang mengelola sumber daya nasional dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan. Hal ini, tentunya termasuk pengelolaan kawasan konservasi. Tap MPR No. XV/1998 tersebut menunjukkan suatu kesadaran mengenai Penyelenggaraan Otonomi Daerah dan kaitannya dengan pengelolaan sumber daya alam. Hendaknya departemen terkait tidak lagi  menterjemahkan pengelolaan sumber daya alam berdasarkan kepentingan atau ego sektoral masing-masing. Dalam upaya mempercepat realisasi Otonomi Daerah tersebut sudah saatnya instansi terkait melakukan koordinasi untuk menyamakan visi dan persepsi.

Peraturan Perundang Undangan Telaahan terhadap peraturan perundang-undangan, yang berjumlah cukup besar sekitar 157 peraturan — baik peraturan yang secara langsung mengatur tentang pengelolaan kawasan konservasi maupun yang tidak secara langsung mengatur namun berkaitan — menunjukkan adanya beberapa persoalan, yaitu , Pertama , tidak adanya istilah yang baku terhadap kawasan yang dilindungi. Keppres Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, menggunakan istilah Kawasan Lindung. Sementara itu Undangundang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDHE) cenderung menggunakan istilah konservasi. Direktorat yang memiliki tanggungjawab perlindungan sumber daya alam misalnya menggunakan istilah Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (Ditjen PHPA), kendatipun sehari-hari mereka menggunakan istilah konservasi dan bukan perlindungan atau pelestarian.

Baru-baru ini, melalui Keppres No. 192 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1998 tentang Kedudukan, Tugas, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Departemen sebagaiman telah Beberapa Kali Diubah Terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 144 Tahun 1998. Pemerintah menggunakan nama baru untuk Ditjen PHPA yaitu Direktorat Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam. Perbedaan istilah ini tentu saja dapat memberikan konsekuensi hukum tertentu. Kedua, adanya dualisme kebijakan pemerintah yang di satu sisi berupaya untuk melindungi kawasan-kawasan tertentu dan menetapkannya sebagai kawasan konservasi, namun di sisi lain membuka peluang kawasan-kawasan tersebut untuk dieksploitasi.

Hal ini dapat ditemukan di dalam PP No. 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan, di dalam Keppres Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung dan di dalam SKB Menteri Pertambangan dan Menteri Kehutanan Nomor 969.K/08/MPE/1989 dan Nomor 492/Kpts-II/1989 tentang Pedoman Pengaturan Pelaksanaan Usaha Pertambangan dan Energi Dalam Kawasan Hutan, yang hingga kini masih berlaku. SKB dua Menteri tersebut bahkan menegaskan bahwa di Kawasan Cagar Alam dapat dilakukan kegiatan pertambangan, termasuk di dalam kawasan yang akan ditetapkan sebagai Taman Nasional. Jika sebelumnya telah ada kegiatan tambang, maka kawasan tambang tersebut dikeluarkan dari penetapan taman nasional.

Padahal, UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang KSDHE secara tegas menyebutkan bahwa di dalam Cagar Alam dan Taman Nasional tidak dibolehkan adanya kegiatan budi daya, yaitu kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan Cagar Alam maupun Taman Nasional.

Semestinya rujukan utama aturan mengenai kawasan konservasi adalah UU KSDHE, karena berdasarkan hierarki UU merupakan aturan yang paling tinggi. Apabila terdapat peraturan yang saling bertentangan, maka yang dijadikan acuan dan berlaku adalah UU. Ketiga, adalah lemahnya penegakan hukum (law enforcement) terhadap pelaku perusak kawasan-kawasan konservasi. Berbagai aktifitas yang nyata-nyata mengancam atau bahkan telah merusak kawasan konservasi seringkali tidak dikenakan peringatan ataupun sanksi yang tegas. Hal ini dapat dilihat dari aktifitas pertambangan di Taman Nasional Kutai, Kalimantan Timur, Taman Nasional Lorentz (sebelumnya Cagar Alam), Taman Nasional Bunaken dan sebagainya.

Keempat, kuatnya egosektoral, yang terlihat dari rekomendasi dan ijin yang diberikan oleh Departemen Pertambangan untuk aktifitas pertambangan, baik di Taman Nasional Lorentz maupun Taman Nasional Kutai, kendatipun UU No. 5 Tahun 1990 melarang. Dengan adanya kebijakan yang mendua, penggunaan istilah yang tidak baku, lemahnya penegakan hukum dan begitu kuatnya egosektoral, maka jelas ada persoalan mendasar di dalam kebijakan besar pengelolaan sumber daya alam kita. Persoalan mendasar tersebut adalah tidak adanya visi dalam pengelolaan sumber daya alam, termasuk visi pengelolaan kawasan konservasi.

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Pulau Biawak

Luas Wilayah              : 204.011 ha

Jumlah Kecamatan      : 31 kecamatan

Jumlah Desa                : 310 desa/kel.

Penduduk                    : 1.709.128 jiwa

Kepadatan                   : 836 jiwa/ha

Matapencaharian         : Pertanian, Perikanan

Lahan sawah               : 110.877 ha

Lahan tambak             : 20.275 ha.

Potensi P.Kecil            : P.Biawak, P. Gosong, P. Candikian

            Sesungguhnya nama pulau tersebut adalah Pulau Rakit, tetapi oleh Pemkab Indramayu dinamakan Pulau Biawak karena di pulau ini banyak dijumpai satwa liar yang justru menjadi ciri khasnya, yakni biawak (Varanus salvator). Satwa ini tergolong unik karena hidup di habitat air asin. Setiap menjelang matahari terbenam, puluhan biawak dengan panjang antara 20 centimeter hingga 1,5 meter terlihat berenang di tepian pantai. Satwa-satwa itu memang tengah berburu ikan untuk kebutuhan makannya.

            Setiap menjelang matahari terbenam, puluhan biawak terlihat berenang di tepian pantai. Biawak-biawak itu tengah berburu ikan. Menjelang petang, perlahan tapi pasti, air pasang mulai menutupi dataran karang di Kepulauan Biawak, Kabupaten Indramayu. Binatang-binatang dengan ukuran satu hingga satu setengah meter itu, memburu ikan untuk santapannya. Pemandangan itu sangat menarik untuk dilewatkan.

Kepulauan Biawak, merupakan satu dari empat gugusan pulau yang ada di wilayah perairan pantai utara (Pantura) Kabupaten Indaramyu. Tiga pulau lainnya, yaitu Pulau Candikian, Pulau Rakit, dan Pulau Gosong. Pulau itu memiliki pesona wisata yang unik, karena karangnya yang masih ‘perawan ‘ dan hidup. Di antara keempat pulau itu, hanya Pulau Biawak yang masih utuh dalam segalanya. Sedangkan tiga pulau lainnya hanya berupa hamparan pulau karang semata. Pulau Gosong, misalnya, kondisinya rusak karena jutaan meter kubik material karangnya diambil untuk pengurukan lokasi kilang minyak Pertamina Unit Pengolahan VI Balongan.

Pulau ini hanya menyisakan bagian tepinya. Sementara bagian tengahnya, sudah mirip danau yang ada di tengah lautan luas. Untuk dua pulau lainnya, Pulau Candikian dan Pulau Rakit, meski tidak dieksploitasi, tapi kondisinya tidak sebagus Pulau Biawak. Kondisi ketiga pulau itu Cadikian, Rakit dan Gosong yang berada di tengah laut itu, sebenarnya sangat berbahaya bagi alur pelayaran kapal-kapal laut yang melintas di kepulauan tersebut. Maka tak heran, bangsa Belanda semasa menjajah kepulauan Indonesia, mendirikan bangunan menara mercusuar. Mercusuar dengan ketinggian sekitar 55 meter itu dibangun oleh ZM Willem pada 1872. Hingga kini, bangunan itu masih berfungsi untuk memandu kapal-kapal besar maupun kecil yang melintas. Melihat usia bangunan tersebut, mercusuar itu diperkirakan seumur dengan mercusuar di Pantai Anyer.

Di sisi lain, keberadaan mercusuar itu justu menjadi daya tarik lain dari pulau yang memiliki luas dataran karang sekitar 1.560 hektare dan berpasir putih itu. Dari jumlah pulau itu, sekitar 200 hektare areal yang ditumbuhi berbagai jenis pohon seperti mangrove, kelapa, alang-alang, dan banyak tumbuhan lainnya. Tak hanya itu, di pulau ini pun terdapat satwa liar yang justru menjadi ciri khasnya, yakni biawak (Varanus salvator). Satwa ini tergolong unik karena hidup di habitat air asin. Setiap menjelang matahari terbenam, puluhan biawak dengan panjang antara 20 centimeter hingga 1,5 meter terlihat berenang di tepian pantai. Satwa-satwa itu memang tengah berburu ikan untuk kebutuhan makannya. Untuk mencapai objek wisata yang berjarak sekitar 26 mil laut dari pesisir Indramayu itu, dapat ditempuh dari empat titik, yaitu Pelabuhan Balongan, Karang Song, Eretan, dan Dadap. Dengan menggunakan perahu, perjalanan menuju objek wisata bahari yang secara administratif masuk wilayah Desa Brondong, Kecamatan Indramayu, memakan waktu sekitar empat hingga lima jam.

Jarak tempuh akan menjadi lama bila terjadi gelombang besar di perairan Laut Jawa. Namun, kepala Syahbandar Indramayu, H Aspuri Ilyas, mengingatkan, bila hendak mencapai pulau itu harus memperhatikan kondisi cuaca. Pasalnya, kata Aspuri, ombak besar atau masyarakat setempat menyebutnya badai rakit (barik) sewaktu-waktu bisa datang, terutama di sekitar Kepulauan Rakit. ”Banyak kapal pembawa kayu hutan dan batubara, karam akibat diserang barik,” kata Aspuri. Bagi Anda yang benar-benar menginginkan suasana alam dan meninggalkan sejenak kepenatan rutinitas pekerjaan, tak ada salahnya berkunjung dan menjadikan Pulau Biawak sebagai salah satu pilihan. Bagi wisatawan yang memiliki kapal pribadi jenis catamaran atau speedboat dan menyukai tantangan, maka wisata bahari ini adalah pilihan yang tepat. Selama ini, para wistawan atau pemancing berat, lebih memilih melakukan wisata bahari di sekitar Selat Sunda, atau kawasan Kepulauan Seribu. Dari Dermaga Marina Ancol, Jakarta, atau kawasan Kepulauan Seribu, Pulau Biawak dapat ditempuh dalam waktu tujuh hingga delapan jam. Keindahan alam Pulau Biawak juga dapat dinikmati oleh masyarakat umum. Hanya saja, diperlukan biaya yang cukup besar. Bila Anda mengutamakan kepuasan, tentunya uang yang dikeluarkan tidaklah menjadi masalah.

Biaya yang diperlukan, setidaknya untuk sewa perahu, sebesar Rp 300 ribu hingga Rp 500 ribu. Perahu yang disewa pulang pergi itu, mampu membawa lima hingga 10 penumpang. Minimnya fasilitas, seperti tidaknya adanya tempat untuk bermalam dan warung, mengharuskan wisatawan yang berkunjung ke tempat itu, membawa perlengkapan secukupnya. Bagi yang ingin bermalam, setidaknya perlengkapan seperti tenda dan juga obat-obatan juga harus disiapkan. Di pulau itu memang belum tersedia sarana akomodasi. Untuk menuju ke Pulau Biawak, disarankan agar berangkat pada pagi hari, karena wisatawan dapat menikmati suasana sunset atau matahari terbenam. Bagi wisatawan yang menyukai tantangan, dapat bermalam di pulau tersebut dan keesokan harinya bisa menikmati indahnya suasana matahari terbit. Kalaupun ada keinginan melakukan ziarah, konon di kawasan Pulau Biawak pun terdapat makam kuno.

Pulau Biawak, atau para pelaut kerap menyebutnya gugusan Kepulauan Biawak, merupakan salah satu tempat yang layak untuk kegiatan menyelam. Keindahan alam bawah lautnya masih sangat perawan. Terumbu karang dan ribuan ikan hias serta ombaknya yang tidak terlalu besar, menjadikan kawasan ini leluasa untuk kegiatan menyelam. ”Kawasan Kepulauan Biawak sebenarnya memiliki daya tarik tersendiri bagi wisatawan, terlebih wisatawan dengan tujuan untuk melakukan penelitian,” kata Kepala Kantor Pariwisata dan Seni Budaya (Parsenibud) Indramayu, Umar Budi Karyadi, kepada Republika. Pemkab Indramayu, kata Budi, menawarkan keunikan yang terdapat di Pulau Biawak, sebagai salah satu bagian objek wisata penelitian. Di pulau yang hanya dihuni tidak lebih dari sepuluh petugas penjaga mercusuar itu, memiliki daya tarik utama sebagai pulau konservasi.

Daya tarik yang dapat dijual Pulau Biawak, merupakan satu-satunya gugusan pulau di Jawa yang masih memiliki jenis tanaman bakau atau mangrove terlengkap. Daya tarik lain, memiliki koleksi ikan hias, sehingga keunikan tersebut dapat dijadikan sebagai salah satu tempat alternatif untuk wisatawan yang memiliki hobi snorkling atau olahraga selam. Menurut Budi, pada awal 1995, pemkab pernah membangun saung wisata di lokasi tersebut, termasuk fasilitas lain seperti jalan setapak dan dermaga yang terbuat dari kayu. Kala itu, kata dia, pemkab menginginkan kawasan Kepulaun Biawak dapat dijadikan salah satu objek wisata alternatif, selain Pantai Tirtamaya yang memang sudah dikenal masyarakat di wilayah Pantura. Hanya saja, sarana tersebut tidak mendapatkan perhatian dan perawatan, sehingga mengakibatkan bangunan yang didanai pemerintah itu rusak dan terbengkalai. Konon, bangunan saung wisata hangus terbakar tanpa sebab.

3.2 Jenis-jenis Biota Yang Di Konservasi

Pulau Biawak merupakan pulau hutan yang banyak ditumbuhi berbagai jenis bakau sebagai ciri khas ekosistem mangrove. Kondisi ekosistem mangrove masih baik dengan tumbuhnya berbagai ragam jenis mangrove yang sudah langka sebagaimana jarang dijumpai di pantai utara Jawa. Jenis-jenis bakau yang tumbuh diantaranya adalah Sonneratia spp, Avicennia sp, Bruguiera sp, Rhizopora sp, Ceriops sp, Acanthus sp, Lummitterae, Xylocarpus, Aigicera, Nipa sp, dan Heriera sp. Sementara di Pulau Gosong terdapat jenis Avicennia sp dan di Pulau Candikian terdapat jenis Bruguiera sp. (Diskanla 2004)

Ekosistem terumbu karang di Pulau Biawak dan sekitarnya berada pada kedalaman 3-5 m. kompoen penyusun terumbu karangnya sangat padat dan banyak didominasi oleh karang-karang keras, seperti karang semi padat (Acropora digitta) dan karang meja (Acropora tabulate). Selain itu, terdapat juga karang bercabang (Acropora branching), karang biru (Coral heliopora), karang api (Coral millepora), karang padat (Coral massive), karang menempel (Acropora dan Coral encrusting), karang lingkar daun (Coral foliose), karang jamur (Coral mushroom). Dan dijumpai beberapa karang lunak seperti Simularia sp. (Diskanla 2004).

Jenis ikan hias yang ditemukan di Pulau Biawak dan sekitarnya diantaranya adalah kiper (Scatophagus argus), samandar (Siganus verniculator), kerapu (Chremileptis altivelia), dokter (Labroites dmidiatus), kakatua (Challyadon ghabon), tikus (Chinhiticthy aprianus), zebra (Dendricirus zebra), kupu-kupu (Chaetodon chrysurus), kokotokan, merakan (Pterois valiteus), pisau-pisau, petek-petek (Desayllus reticulates), kepasan, buntul, kerong-kerong (Plectorynchus spp), pembersih (Thallasoma sp), sersan mayor (Abudefduf sexfasciatus), kerapu lumpur (Cheilinus sp), dan ekor kuning (Caesio cuning).(Diskanla 2004).

Jenis fauna yang dijumpai dan menjadi ciri khas Pulau Biawak adalah biawak (Veranus salvator). Fauna lainnya adalah dari jenis burung diantaranya trinil pantai (Bubulcus ibis), cangak abu (Ardea cinerea), cangak laut (Ardea sumatrana), cekaka (Halyclon chloris), burung udang biru (Alcedo caerulescens), trulek (Pluvalis dominica), dan lain-lain. (Diskanla 2004).

3.3 Rencana Konservasi dan Perlindungan Kawasan

Di Pulau Biawak terjadi abrasi pantai yang cukup parah, hal ini disebabkan kegiatan pembangunan, industri, dan aktifitas manusia serta pengaruh faktor alam pada umumnya telah memberikan pengaruh negatif pada kestabilan kawasan pantai. Faktor alam yang berpengaruh terhadap kondisi pantai antara lain timbulnya gelombangan dan arus, terjadinya pasang surut, terjadinya sedimentasi dan abrasi yang berpengaruh pada berubahnya garis pantai serta kondisi sungai yang bermuara di perairan tersebut, kemungkinan besar abrasi yang terjadi di Pulau Biawak dipengaruhi oleh arus yang kuat pada bulan tertentu.

Cara penanggulangan abrasi pantai adalah pemecah gelombang sejajar garis pantai (detached breakwater), struktur pemotong arus sejajar garis pantai tegak lurus garis pantai (groin), dan pembangunan dinding laut (seawall) telah banyak digunakan dalam berbagai kasus erosi pantai di Indonesia dan penghijauan hutan mangrove disekitar pantai yang terkena abrasi.

Di Pulau Biawak yang menjadi ciri khasnya adalah biawak, perlu adanya perlindungan terhadap biawak agar tidak diburu oleh para pemburu liar untuk dijadikan makanan atau kerajinan, di Pulau Biawak banyak tersedia makanan untuk biawak sehingga dapat berkembang biak dengan baik. Makanan biawak adalah serangga, kodok, ikan, burung dan mamalia kecil untuk menjaga kelestariannya agar ada pembatasan wilayah habitat biawak sehingga tidak merusak dan mengganggu habitat biawak.

Terumbu karang di Pulau Biawak yang mengalami kerusakan dapat ditanggulangi dengan cara menjadikan daerah terumbu karang sebagai daerah perlindungan laut seperti Taman Nasional Laut, Cagar Alam Laut, Suaka Marga Satwa Laut. Terumbu karang merupakan biota  yang dapat memperbaiki dirinya sendiri setelah kerusakan, namun perlu didukung dengan strategi pemulihannya baik dari pihak pemerintah  pusat maupun pemerintah daerah yang didukung oleh masyarakat sekitar.

3.4 Zonasi Laut Di Pulau Biawak

Dari hasil survey lapangan ditemukan beberapa permasalahan/ gangguan yang sangat kompleks yang berkaitan dengan kondisi terumbu karang berupa : a) Perusakkan fisik habitat ikan dan biota laut.  Penelitian mengenai terumbu karang di Pulau Biawak dan sekitarnya melalui penyelaman langsung relative baru diadakan; b) Pencemaran perairan laut; c) Pemanfaatan sumberdaya alam yang berlebihan dengan menggunakan racun dan dinamit; d) Pelanggaran lainnya, seperti penduduk atau pengunjung yang memasuki zona larangan, penangkapan biota laut langka.

            Terjadinya gangguan tersebut diatas setidaknya disebabkan lemahnya tingkat pengelolaan, rendahnya tingkat sosial ekonomi masyarakat dan kurangnya apresiasi dan keperdulian masyarakat terhadap kawasan konservasi.

Untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap kawasan konservasi laut dilakukan uji awal terhadap persepsi konservasi diperoleh melalui pengamatan dan wawancara perorangan dengan beberapa penduduk setempat (responden) dari hasil pengamatan dan wawancara diperoleh informasi bahwa kepedulian masyarakat terhadap lingkungan sangat tinggi.  Secara umum dapat disimpulkan bahwa masyarakat mendukung ditetapkannya Pulau Biawak dan sekitarnya sebagai kawasan konservasi atau perlindungan, namun demikian penetapan tersebut jangan sampai membatasi aktifitas ekonomi masyarakat dan aktifitas wisata dan penempatan kawasan konservasi diharapkan juga mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Departemen Kelautan Dan Perikanan RI (2003), melakukan penilaiaan kriteria peruntukan kawasan konservasi laut menggunakan dua macam pedoman, yaitu: (1) pedoman dari IUCN dan Departemen Kelautan dan Perikanan; dan (2) pedoman yang dikeluarkan Ditjen PHPA, Departemen Kehutanan. Kedua metoda perhitungan itu menunjukkan bahwa Pulau biawak dan sekitarnya masuk kategori Taman Wisata Alam Laut atau Konservasi Bentang Alam dan Rekreasi.

Berdasarkan alasan tersebut pada tahun 2004 Pulau Biawak dan pulau-pulau disekitarnya telah ditetapkan oleh bupati indramayu sebagai Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) dan Kawasan Wisata Laut dengan tujuan untuk melindungi ekosistem terumbu karang, padang lamun, mangrove dan biota yang terdapat didalamnya dan diharapkan regenerasi sumber daya perikanan yang terdapat di Pulau Biawak dapat terpelihara. Kawasan Pulau Biawak dan Sekitarnya mengembangkan visi konservasi dan misi pelestarian, pendidikan dan ekonomi Penantaan kawasan konservasi dan wisata laut Pulau Biawak dan sekitarnya dibagi menjadi dua zone dengan kategori sebagai berikut :

a.        Internal zone yang merupakan kawasan perlindungan habitat dan populasi sumberdaya hayati

b.        Eksternal zone yang merupakan perlindungan dan pemanfaatan wisata

Tujuan utama pengelolaan kawasan konservasi adalah pembentukan kawasan konservasi laut yang sepenuhnya melindungi seluruh struktur komunitas dan habitat alami dari ekosistem damersal dan dasar dengan segenap keanekaragamannya.  Tujuan ini hanya bisa tercapai dengan melarang pemanenan ikan damersal di sebagian besar kawasan konservasi, mengingat populasi komunitas ikan terumbu karang dan ikan dasar sangat rentan terhadap penangkapan secara berlebihan.  Biarpun hanya beberapa spesies yang ditangkap secara berlebihan hal tersebut akan memberikan dampak yang sukar diperkirakan terhadap ekosistem secara keseluruhan. Oleh karena itu perlu diadakan pembatasan areal yang dapat dimanfaatkan dengan cara-cara tradisonal oleh masyarakat setempat .

Kawasan konservasi laut daerah Pulau Biawak dan sekitarnya memunyai fungsi utama sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis flora dan fauna serta pemanfaatan yang lestari.  Kawasan ini juga dapat dimanfaatkan untuk penelitian, pendidikan, budidaya dan wisata bahari.  Selain fungsi diatas, kawasan perairan kawasan konservasi laut daerah pulau biawak dan sekitnya tetap  dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk pengembangan ekonomi produktif dengan tetap memperhatikan prinsip-prnsip pemanfaatan yang ramah lingkungan dan lestari.

3.4.1 Rencana batas KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya

Berdasarkan Kriteria ekologis (ekonomi terumbu karang dan mangrove) dan berdasarkan batas KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya meliputi daerah pulau biawak sampai dengan garis pantai dimana terdapat interaksi dan keterkaitan ekologis dan social ekonomi-budaya.  Dari hasil perhitungan berdasarkan hasil digitasi peta dan analisis (2005),  luas KKLD Pulau biawak adalah KKLD Pulau biawak 14.084,45 ha, yang terdiri dari luas perairan laut 13.342 ha dan daratan pulau sebesar 742 ha seperti terlihat pada Gambar. Batas KKLD pulau biawak dan sekitarnya adalah sebagai berikut :

Sebelah Barat              :           Perairan Laut Jawa

Sebelah Timur             :           perairan Laut Jawa

Sebelah Selatan           :           Perairan Utara Indramayu (Tanjung Indramayu)

Sebelah Utara              :           Perairan Laut jawa

Gambar 1. Peta  kawasan KKLD Pulau Biawak

3.4.2 Alternatif Zonasi KKLD Pulau Biawak

Keberlanjutan kawasan konservasi sangat bergantung dari tingkat pemanfaatan kawasan tersebut.  Untuk itu maka perlu ditetapkan penataan terhadap pemanfaatan ruang di kawasan konservasi Pulau Biawak dan sekitarnya.

Penetapan batas perairan KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya didasarkan pada            UU No 32 tahun 2004 tetang pemerintah daerah, yaitu Pemerintah Kabupaten memiliki otoritas pengelolaan wilayah laut sejauh 4 mil dari garis air surut terendah.  Jadi, batas KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya ditentukan dalam radius 4 mil dari garis surut terendah dari pesisir Pulau Biawak, Pulau Gosong dan Pulau Candikian terluar.

Rencana pemanfaatan ruang (zonasi) KKLD pulau Biawak dan sekitarnya didasarkan pada 2 (dua) pertimbangan yaitu berdasarkan inventarisasi dan penilaiaan KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya (alternatif 1) dan berdasarkan kajian teoritis, hasil diskusi dengan masyarakat dan kajian sebelumnya, evaluasi lapangan (FGD) dan public hearing( alternatif 2).  Dari pertimbangan tersebut, beberapa alternatif dalam pemanfaatan ruang kawasan konservasi. pemanfatan ruang di KKLD Pulau biawak dan sekitarnya. Kawasan KKLD Pulau Biawak dibagi beberapa zonasi, agar berbagai kepentingan pemanfaatannya dapat berjalan selaras dan serasi. Pembagian zonasinya adalah sebagai berikut :

1)  Zonasi KKLD Alternatif 1  (Lokasi I Pulau Biawak)

Pertimbangan yang dilakukan dalam penentuan zonasi KKLD alternatif 1 ini adalah perlindungan ekosistem Mangrove, ekosistem terumbu karang, habitat laut dan kegiatan masyarakat lokal.  Dari pertimbangan ini zonasi KKLD pesisir Indramayu serta Pulau Biawak dan sekitarnya dibagi dalam tiga kategori yaitu zona perlindungan, zona pemanfaatan dan zona pendukung.

Karakteristik yang berbeda antara Pulau Biawak dengan pulau-pulau lainnya memepengaruhi pengembangan  aktivitas kegiatan yang diusulkan.  Pulau biawak sebagai zona inti merupakan zona perlindungan yang tidak tertutup oleh kegiatan pemanfaatan. Namun, kegiatan pemanfaatan yang diusulkan harus diatur dengan peraturan yang ketat dan tegas, serta dengan ruang lingkup terbatas.  Jenis kegiatan yang diperbolehkan dan dilarang di tiap lokasi adalah sebagai berikut :

a.   Zona Inti (Lokasi I Pulau Biawak)

Zona ini diperuntukkan bagi upaya pelestarian sumber genetik dan perlindungan proses ekologi. Zona inti merupakan perlindungan terhadap habitat asli baik di pesisir maupun laut sehingga kegiatan yang dilakukan harus dalam pengaturan dan pengawasan yang ketat.  Zona inti tersebut bisa memiliki aktivitas wisata yang pengaturannya seperti suaka alam atau suaka margasatwa.  Zona inti meliputi seluruh bagian Pulau Biawak beserta perairannya (radius ±  2 mil dari garis pantai).  Zonasi ini dibuat dengan pertimbangan karena Pulau Biawak memiliki fauna khas termasuk kategori langka, serta memiliki flora yang beragam dan harus dilindungi, khususnya hutan mangrove.  Selain itu, Pulau Biawak juga memiliki nilai historis yang unik untuk dilestarikan dan dilindungi keberadaannya.Dengan pertimbangan Pulau Biawak mempunyai flora dan fauna yang dilindungi.

Perlindungan biota dan habitat laut Pulau Biawak dan sekitarnya harus sejalan dengan pemanfatan yang arif dan berkelanjutan dari sumberdaya laut untuk masyarakat setempat

  • Perburuan dan penangkapan jenis-jenis yang berstatus bahaya (Endangered Species) oleh masyarakat, baik lokal maupun dari luar kawasan harus dihentikan.
  • Eksploitasi ikan di zona inti dan zona perlindungan dilarang.
  • Tidak terjadi introduksi jenis-jenis eksotik, apabila jenis tumbuhan bukan asli menjadi gangguan pengelolaan khusus mungkin diperlukan sebagai  pengawasan dan perlu dilaksanakan program penelitian untuk menganalisa dampak yang terjadi.

b.   Zona Perlindungan (Lokasi I Pulau Biawak)

Kawasan konservasi laut umumnya di bentuk untuk dapat dipergunakan secara terkontrol berbagai tipe aktivitas yang berada didalam batas-batas kawasan oleh masyarakat yang berada disekitarkawasan tersebut.  Walaupun demikian terdapat beberapa tipe aktifitas tertentu yang berpotensi menimbulkan  sebuah konflik kepentingan/ penggunaan yang harus dihindarkan  pemisahan wilayah aktifitas tertentu dengan wilayah aktifitas lainnya merupakan jalan keluar terbaik yang dapat diterapkan pada kawasan konservasi laut.  Pembentukan zona adalah metode yang umum digunakan untuk memberikan sebuah jarak aman antara aktifitas masyarakat dengan wilayah atau lokasi lau yang sensitif bernilai ekologi tinggi atau wilayah pemulihan kondisi.  Selain itu zona juga memungkinkan untuk membatasi dampak negatif yang disebabkan oleh aktifitas masyarakat disekitarnya. Beberapa fungsi zona yang umum digunakan adalah sebagai berikut :

  • Memberikan kontrol terhadap berbagai aktivitas pada masing-masing lokasi laut.
    • Memberikan wilayah inti perlindungan laut di dalam kawasan konservasi laut
    • Memberikan perlindungan lokasi sensitif seperti lokasi sumber makanan bagi ikan  laut.
    • Mengurangi biaya pengelolaan kawasan konservasi laut secara menyeluruh yang disebabkan oleh keperluan tenaga kerja dan perawatan dapat dikurangi dan dibuat lebih efektif

Zona Perlindungan diperlukan untuk kepentingan perlindungan kawasan (melindungi habitat dan populasi biota laut dan pesisir).  Pada zona ini tidak diperkenankan adanya pengembangan fisik kecuali dalam rangka pengamanan kawasan.  Zona perlindungan meliputi sebelah utara sampai sebelah Tenggara dan sebelah Barat daya Pulau Biawak (areal hutan mangrove). Zona perlindungan meliputi hampir seluruh daratan dan perairan laut  hingga kedalaman 10 meter.  Sedangkan zona pemanfaatan terbatas meliputi sebagian kecil daratan dan perairan laut dari kedalaman > 10 meter hingga batas akhir KKLD

Karakteristik Zona Perlindungan (Lokasi I Pulau Biawak) memiliki keanekaragaman hayati yang cukup tinggi, Zona ini untuk melindungi satu kesatuan ekosistem perairan yaitu tempat mencari makan, pembesaran dan perkembangbiakan ikan biota yang dilindungi. Karakteristik zona terdapat beberapa kerusakkan ekosistem terumbu karang yang diduga akibat penangkapan ikan dengan bom,  terdapat terumbu karang yang mengalami recovery, terdapat satwa khas, yaitu biawak, gelombang relative tenang, tipe pasir putih.

 

Jenis kegiatan yang diperbolehkan di zona perlindungan Pulau Biawak terdiri dari :

  • kegiatan wisata bahari (diving, snorkling, dan pemancingan) di dalam zona ini dapat dilakukan pemanfaatan secara langsung yaitu terhadap keberadaan daya tarik obyek wisata alam yang dapat dikunjungi secara terbatas.
  • kegiatan pengembangan ilmu pengetahuan, penelitian, pemantauan dan rehabilitasi zona lindung dan dapat dimanfaatkan sebagai salah satu unsur penunjang
  • kegiatan pembangunan akomodasi yang bersifat sementara, misalnya tenda
  • kegiatan pembangunan sarana dan prasarana untuk penelitian dan wisata bahari

jenis kegiatan yang dilarang di zona perlindungan pulau biawak yaitu :

  • Kegiatan penangkapan ikan untuk komersial, baik tradisional maupun modern
  • Penangkapan ikan dengan alat tangkap bahan peledak, bahan kimia, biologi dan alat lainnya yang tidak ramah lingkungan.
  • Penangkapan ikan dengan alat tangkap pukat harimau, pukat pantai, pukat cincin, bubu, jaring ingsang, bagan tancap dan pancing dasar.
  • Kegiatan budidaya laut (marikultur) dengan peralatan yang dapat merusak ekosistem terumbu karang
  • Penangkapan semua spesies perairan laut yang dilindungi
  • Pengambilan batu karang hidup atau mati, pasir dan sebagainya.
  • Pembangunan akomodasi yang bersifat permanent tidak dibolehkan

c.  Zona Pemanfaatan terbatas (Lokasi I Pulau Biawak)

            Zona ini untuk mendukung sosial ekonomi dan budaya masyarakat di dalam kawasan, untuk mengakomodasikan kepentingan dalam pemanfaatan sumber daya alam secara lestari. Karakteristik zona pemanfaatan (Lokasi I Pulau Biawak) memiliki keanekaragaman hayati (jenis ikan) yang cukup tinggi untuk kegiatan penelitian perikanan tangkap tradisional, budidaya dan sarana umum.  Terdapat bebrapa lokasi yang cocok untuk kunjungan wisata (wisata bahari dan religi),  terdapat aset sejarah, yaitu menara suar dan situs makam,  gelombang laut relatif tenang untuk kegiatan snorkling atau diving dan perahu kaca.

Jenis yang diperbolehkan di zona pemanfaatan Pulau Biawak terdiri dari :

  • Kegiatan penangkapan ikan hanya untuk wisata pemancingan
  • Kegiatan budidaya laut (marikulture dengan lingkup terbatas (kja dan rumput laut), disarankan yang berkaitan dengan kegiatan penelitian.
  • Kegiatan pariwisata bahari.
  • Kegiatan lainnya (bangunan komersial, prasarana dan sarana) dengan mempertimbangkan aturan yang telah ditetapkan.

Jenis kegiatan yang dilarang di zona pemanfaatan Pulau Biawak, yaitu :

  • Penangkapan ikan dengan alat tangkap pukat harimau.
  • Pengangkapan ikan denganalat tangkap bahan peledak, kimia, biologi, dan alat lainnya yang tidak ramah lingkungan.
  • Perlindungan semua spesies perairan laut yang dilindungi.
  • Pengambilan batu karang hidup atau mati, pasir, dan sebagainya

Tabel 1. Batas koordinat zona inti dan perlindungan KKLD Pulau Biawak

No

Batas Lintang Selatan

Batas Bujur Timur

1

06 o03’30”

108o24’30”

2

06o01’30”

108o25’55”

3

06o00’35”

108o23’50”

4

06o01’00”

108o22’33”

5

06o02’40”

108o23’30”

 

 

 

 

 

 

2)   Zonasi KKLD Alternatif 2  (Lokasi 2 ; Pulau Gosong dan Pulau Candikian beserta perairannya)

Zonasi dilakukan berdasarkan pengamatan lapangan, diskusi dengan masyarakat dan studi literatur. Zona pemanfaatan diperuntukkan sebagai zona yang dapat menampung aktivitas manusia demi kelangsungan hidupnya.  Areal ini dapat meliputi daerah daratan/pesisir dan laut Kegiatan yang dilakukan dalam zona ini antara lain perikanan budidaya, penangkapan ikan terbatas, budidaya laut dan kegiatan lainnya.  Pada zonasi pemanfaatan ini yang diusulkan di Pulau Gosong dan Pulau Candikian secara keseluruhan termasuk perairannya.

Karakteristik zona Pemanfaatan (Lokasi 2 Pulau Gosong dan Pulau Candikian beserta perairannya) memiliki kualitas air dan gelombang laut yang tenang cocok untuk budidaya KJA serta mutiara dan rumput laut, tidak dihuni manusia dan tidak ditemukan biota darat,  vegetasi didaratan yang hidup sangat minim karena daratan yang tidak luas dan kerap terendam air laut saat pasang,  Pulau Gosong dan Pulau Candikian membentuk laguna dapat dimanfaatkan untuk budidaya rumput laut/mutiara,

Rencana usulan pengembangan jenis kegiatan di lokasi Pulau Gosong  dan Pulau Candikian diperuntukkan untuk zona pemanfaatan, dengan arah dan jenis kegiatan yang diperbolehkan terdiri dari :

  • Kegiatan penangkapan ikan untuk komersial.
  • Penangkapan ikan dengan alat tangkap pukat pantai, pukat cincin, bubu, jaring ingsang, dan pancing dasar.
  • Budidaya laut (marikulture) seperti KJA kerapu, rumput laut.
  • Kegiatan wisata bahari daerah laut merupakan daerah kegiatan wisata (snorkling, scuba diving dan lain-lain.
  • Kegiatan lainnya daerah pengembangan pariwisata alam laut yang intensif dan multiguna (bangunan fasilitas pemanfaatan komersial, prasarana, dan sarana) dengan mempertimbangkan aturan yang telah ditetapkan.

            Sampai saat ini aktivitas yang ada di KKLD pulau biawak dan sekitarnya hanya aktivitas penjagaan kerja mercusuar dan kunjungan peziarah ke makan Kyai Syarif Hasan.  Jika aktivitas pariwisata di kawasan ini semakin banyak,  maka akan mengakibatkan semakin menurunnya sumberdaya dan keanekaragaman hayati di KKLD pulau biawak.  Untuk menjaga kelestarian KKLD perlu adanya arahan jenis aktivitas yang diijinkan dan dilarang di kawasan ini serta mencari alternatif kegiatan lainnya yang dapat memperhatikan kelestarian lingkungan.  Jenis kegiatan yang dilarang di zona pemanfaatan Pulau Gosong dan Pulau Candikian, yaitu :

  • Penangkapan ikan dengan alat tangkap pukat harimau dengan alat tangkap bahan peledak, kimia, biologi, dan alat lainnya yang tidak ramah lingkungan.
  • Perlindungan semua species perairan laut yang dilindungi.
  • Pengambilan batu karang hidup atau mati, pasir, dan sebagainya.

Dari pertimbangan ini zonasi pemanfatan KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya alternatif 2 di Pulau Gosong dan Pulau Candikian beserta perairannya dibagi dalam tiga kategori yaitu zona perlindungan, zona pemanfaatan dan zona pendukung.

  1. Zona Penyangga ; Zona in merupakan zona pemanfaatan terbatas.  Kegiatan yang mungkin dilakukan di zona ini antara lain wisata alam laut yang dapat dilakukan di daerah perairan/laut, serta kegiatan budidaya laut.  Zona ini meliputi kawasan perairan Pulau Biawak untuk wisata alam laut, sedangkan Pulau Cendikian dan Pulau Gosong untuk kegiatan budidaya (penangkapan dan budidaya).
  2. Zona Budidaya ; Zona budidaya sesuai keinginan masyarakat untuk meningkatkan taraf hidup mereka, yaitu meliputi.  Kegiatan yang dilakukan pada zona tersebut antara lain wisata alam, budidaya ikan berupa tambak maupun keramba jaring apung.
  3. Zona Pendukung (pemanfaatan tradisional) ; dimaksudkan untuk mendukung aktivitas masyarakat lokal dalam rangka memanfaatkan biota laut, khususnya aktivitas penangkapan ikan dengan pancing dan melakukan kegiatan budidaya.  Zona ini diupayakan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.  Zona pendukung yang direkomendasikan meliputi sebelah barat laut Pulau Biawak; bagian dalam dan sekitarnya Pulau Gosong serta perairan sekitar Pulau Candikian.

Tabel 2. Batas koordinat Zona pemanfaatan KKLD Pulau Biawak

No

Batas Lintang Selatan

Batas Bujur Timur

1

06o00’30”

108o20’00”

2

05o49’50”

108o22’25”

3

05o41’05”

108o28’50”

4

05o50’32”

108o32’00”

5

05o55’25”

108o29’50”

6

06o06’00”

108o27’15”

7

06o08’00”

108o23’30”

8

06o03’42”

108o20’00”

3.4.3 Peraturan Daerah tentang Pengelolaan laut daerah

Kawasan Konservasi Laut Daerah Pulau Biawak (KKLD P. Biawak) merupakan salah satu bagian dari kawasan konservasi perairan (KKP). Dalam pengelolaan KKLD P. Biawak didasarkan pada asas-asas, berdasarkan PERDA No. 14 Tahun 2006, Tentang Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah dan Penataan Fungsi Pulau Biawak, P. Gosong dan P. Candikian, yaitu asas :

a. Perlindungan pelestarian dan keanekaragaman hayati berserta ekosistemnya untuk generasi sekarang dan yang akan datang.

b. Pemanfaatan potensi sumberdaya secara berkelanjutan yang dititik beratkan pada pertimbangan aspek ekologis.

c. Dalam pengelolaan KKLD prinsip-prinsip keterbukaan, kebersamaan, keadilan dan perlindungan hukum bagi setiap pemengku kepentingan.

d. Proses-proses dalam perencanaan dan pengelolaan KKLD akan dilakukan secara mufakat, keterpaduan, kesimbangan, berkelanjutan, berkeadilan dan berbasis masyarakat.

Beberapa dasar hukum dan kebijakan dalam pengelolaan kawasan konservasi laut Pulau Biawak Kabupaten Indramayu, antara lain :

  1. Keputusan Bupati Indramayu, Nomor : 556/Kep.528-Diskanla/2004. Tanggal 07 April 2004. Tentang Penetapan Pulau Biawak dan sekitarnya sebagai Kawasan Konservasi dan Wisata Laut.
  2. Keputusan Bupati Indramayu, Nomor : 523.1.05/Kep.80A-Diskanla/2006. Tanggal 12 Januari 2006. Tentang Pembentukan Forum Pengelola KKLD Kabupaten Indramayu.
  3. PERDA No. 14 Tahun 2006, Tentang Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah dan Penataan Fungsi Pulau Biawak, P. Gosong dan P. Candikian.

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN


1.1         Kesimpulan

Keanekaragaman hayati di wilayah pesisir dan laut meliputi kenakearagaman genetik, spesies dan ekosistem. Pengertian kenakeragaman hayati dan nilai manfaatnya baik secara ekonomis, sosial, budaya, dan estetika perlu memperoleh perhatian serius agar strategi pengelolaan keanekaragaman hayati pesisir dan laut sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.Pengembangan dan pengelolaan kawasan konservasi laut daerah (KKLD) P.Biawak dimaksudkan untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkankualitas keanekaragaman dan nilainya serta berkelanjutan. Kawasan konservasi laut merupakan kawasan perairan yang dilindungi, dikelola melalui sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan. Penetapan kawasan konservasi laut daerah dilakukan melalui proses pendekatan partisipatif masyarakat dalam skala kecil atau skala desa untuk memberikan perlindungan khusus terhadap suatu kawasan yang secara ekologis bernilai tinggi, dengan menggunakan peraturan formal maupun peraturan adat.

1.2         Saran

Rencana pengelolaan terumbu karang di KKLD haruskan berpedoman pada Peraturan Daerah Kabupaten Indramayu. Diperlukan sosialisasi menyeluruh dan berkelanjutan kepada masyarakat mengenai program program pemerintah khususnya tentang konservasi Sumberdaya perikanan di wilayah KKLD. Diperlukan adanya kesinambungan program konservasi yang melibatkan secara aktif seluruh stakeholder (pemerintah pusat dan daerah serta nelayan). Selain itu perlu dibuat PERDA untuk menjamin keberadaan kawasan konservasi.

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2011. Panduan Penyusunan Rencana Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah.  http://www.coremap.or.id/manual/article.php?id=549 diakses 19 Oktober 2011

Mulyana, Yaya. 2007. Panduan Penyusunan Rencana Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut (KKLD/MMA). http://surajis.multiply.com/journal diakses 19 Oktober 2011

Waroi, Desman. 2010. Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD). http://desmanwardi.blogspot.com/2010/07/kawasan-konservasi-laut-daerah-kkld.html  diakses 19 Oktober 2011

Anonymous. 2007. Panduan Penyusunan Rencana Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut (KKLD/MMA). http://surajis.multiply.com/journal/item/3 diakses 20 oktober 2011

Anonymous. Konservasi Laut Abun. http://www.wwf.or.id/tentang_wwf/upaya_kami/marine/wherewework/coresite/abun/ diakses 20 oktober 2011

Derta. 2011. Berbagi Pengalaman dalam Pembentukan Kawasan Konservasi Hingga Upaya Pengelolaan Berkelanjutan. http://www.goblue.or.id/berbagi-pengalaman-dalam-pembentukan-kawasan-konservasi-hingga-upaya-pengelolaan-berkelanjutan diakses 21 oktober 2011

Hutomo, M. 2004. Panduan Pengembangan Kawasan Konservasi Laut. http://www.coremap.or.id/berita/article.php?id=177 diakses 21 oktober 2

Diskanla, 2005. Naskah Akademik KKLD Pulau Biawak Kabupaten Indramayu. Dinas Kelautan dan Perikanan kab. Indramayu.

Wisata Pulau Biawak, 2010. https://dhamadharma.wordpress.com/2010/03/13/wisata-pulau-biawak-indramayu/ (diakses tanggal 19 Oktober 2011)

3 Komentar leave one →
  1. April 24, 2014 3:31 pm

    nice post gan, silahkan berpartisipasi aktif dalam konservasi sambil berwisata, cukup klik di sini

Tinggalkan Balasan ke tuedmaniac619 Batalkan balasan